Suatu hari di rumah Ulfa, tampak Ulfa berbincang-bincang dengan orang tuanya. Sebuah suara ringan, suara ibu Ulfa, terdengar sedikit meninggi :
"Besok kamu tidak perlu sekolah lagi".
"Kenapa bu ?, saya suka pelajaran matematika dan sejarah".
"Tidak boleh, besok kamu sudah harus dipingit, kamu akan
menikah bulan depan".
Menikah ? apa menikah itu. Jadi pengantin. Kenapa harus jadi
pengantin, dengan siapa ?, Beribu pertanyaan menghujam benakku. Aku
tidak tahu mengapa aku harus menikah. Bayangan tawa gembira Sularsih,
Wati, dan Menik silih berganti. Masih kuingat, kemarin kami baru saja
pesta rujakan merayakan hari kelulusan ku dari sekolah dasar. Aku baru
saja menikmati masa masa bahagia duduk di kelas 1 sekolah menengah
pertama.
Sularsih dan Wati datang menjemputku, dari balik tirai, aku
menatap punggung mereka yang lamat lamat menjauh dari rumahku. Ibu
mengatakan kepada mereka bahwa mulai hari ini aku tidak boleh pergi ke
sekolah dan bermain main dengan mereka, pandangan tanda Tanya
keheranan masih tersimak jelas di wajah sahabat sahabatku itu.
Air mataku mengalir deras, kututup mukaku dengan bantal. Aku
sangat takut sekaligus kecewa. Sering aku bertandang ke pesta
pernikahan kerabatku di kampung. Pengantin wanita tampak cantik,
dengan kebaya hitam, dan rambut di konde dengan hiasan bunga mayang.
Aku selalu menikmati paesan yang dibentuk hati hati oleh dukun
pengantin.
Kukenakan kain penutup rambutku, dan mulai beranjak keluar
dari kamar. Aku akan bicara lagi kepada ibuku, merengek untuk minta
dikembalikan ke sekolah. Ibu dan Bapak memarahiku habis habisan, sudah
ditentukan tanggal pernikahanku, minggu depan jam 3 siang. Dengan
langkah gontai aku ke kembali ke kamarku.
Seminggu sebelum pernikahanku tiba, calon suamiku datang,
rombongan berjumlah lebih dari 30 orang diantaranya adalah pak lurah,
pak camat, dan beberapa santri. Belasan mobil mewah terpakir di depan
rumahku. Bapak dan ibu tampak sumingrah. Sedangkan aku masih duduk
ketakutan di dalam kamar. Aku mengenakan baju muslim terbaru. Mukaku
terasa gatal. Riasan terasa terlalu tebal.
Keesokan harinya, rumahku kedatangan buruh bangunan. Kata
ayah, rumahku akan dibangun tingkat. Suara palu dan martil sangat
bising. Pagi hingga malam hari. Menganggu tidurku, mengganggu doaku
kepada Gusti Allah. Hari yang telah ditentukan tiba. Sehabis shalat
dzuhur, aku dibawa oleh ayah dan ibuku ke kediaman calon suamiku.
Aku tidak mengenalnya. Dari pembicaraan bude dan pakde, calon
suamiku adalah seorang pengusaha kaya raya, kiai yang memiliki sebuah
pondok pesantren di Semarang , Jawa Tengah. Namanya Ki Puji. Rumah
kediaman nya sangat mewah dan besar. Rumahku mungkin hanya sebesar
ruang. tamunya. Aku tidak berani menatap wajahnya. Menunduk. Dia
mendekatiku, dan mengulurkan tangan. Dingin. Aku berpeluh keringat.
Aku duduk membeku. Dikelilingku duduk bersimpuh beberapa
wanita yang tidak aku kenal. Sementara kaum lelaki duduk di ruangan
lain. Acara pernikahan berlangsung menjemukan. Baju pengantin yang
kukenakan terasa panas. Tidak betah rasanya aku berlama lama
mengenakannya.
Setelah acara pernikahan usai, aku didudukkan disamping sang
Kiai. Kilatan lampu kamera dan tetamu yang datang membuatku merasa
mual. Aku tidak kuat lagi. Dengan lirih aku meminta izin kepada Ibu
untuk dibawa ke kamar baruku. Malam hari ketika seluruh tetamu sudah
meninggalkan tempat baruku, suamiku, pak kiai, datang mengahmpiriku.
"Kamu sudah haid nduk?" Tanyanya. Aku menangguk lemah. Rasa
takut menjalariku. " Jangan takut, kamu adalah isteriku sekarang,
nanti saya akan jadikan kamu general manager di perusahaan saya".
"Kamu akan saya didik menjadi isteri yang shaleh, tidak kekurangan
materi, dan bisa mengendarai mobil mobil mewahku".
"Aku punya BMW, Mersi, kijang, motor, dan aku akan membawamu
keliling Indonesia , mau kemana ?. Ke Bali, Yogyakarta, Jakarta , ke
Ancol, Taman Mini". Sebut saja nduk". Katanya menghiburku. "Isteri
pertamaku, panggil dia Umi". " Dia yang akan mengajarkanmu, sini duduk
dekat denganku".
Tangannya yang hitam berbulu meraihku, aku semakin meringkuk
ketakutan. Didudukkannya aku dipangkuannya. "Nduk, kamu cantik, tutup
matamu". "Aku akan mengajarkanmu menjadi wanita sempurna".
Kubuka kedua belah mataku, matahari mempertontonkan cahayanya
masuk dari celah celah jendela. Aku mencoba bangun dari tempat
tidurku. Tetapi tubuhku terasa sakit, tulangku terasa kaku, dan
selangkanganku terasa nyeri luar biasa. Aku tidak bisa bergerak.
Ceceran darah kering mengotori alas tidurku. Darah segar masih
mengalir dari celah sempitku.
Apa yang terjadi ? Aku tidak ingat apa yang terjadi. Kupacu
daya ingatku, semalam sang Kiai mencumbu, aku meronta ronta, menangis,
menjerit, tapi tangan hitam itu membekap mulutku. Aku ingin berlari,
tetapi tubuhnya terlalu kuat menindihku. Lalu aku tidak sadarkan diri.
Lama, sunyi, bayangan Sularsih, Menik dan Wati silih berganti.
"Kamu mau jadi apa kalau sudah lulus sekolah Ulfah ?"
"Aku mau jadi polisi wanita". Jawabku lantang.
"Ibu guru sangat bangga padamu, Ulfah". "Nilai raportmu sangat
bagus". Puji ibu guruku.
Bayangku pulang sekolah bersama sahabat sahabatku, berlari
lari menuruni kali kecil dibelakang sekolah untuk menangkap ikan kecil
menari nari. Sulastri mengayunkan tali yang terbuat dari jalinan karet
gelang, kami bermain lompat tali. Dua belas tahun umurku.
Comments :
0 komentar to “Curhat Muslim, Darah Perawan Ulfah”
Posting Komentar
Ketik komentar Anda, klik "select profile", pilih Name/URL, ketik nama Anda, klik "Lanjutkan", klik "Poskan komentar". Terima kasih atas kunjungan Anda